Oleh : Suryani Marapraing |
Pada tanggal 10 November 2019 Konsorsium Tana Wai Maringi (Yayasan Koppesda dan Perkumpulan Humba Ailulu) bersama-sama dengan masyarakat adat Parengu
Wundut melakukan musyawarah terkait hak-hak masyarakat adat Wundut
yang selama ini terabaikan, pertemuan tersebut sebagai kegiatan lanjutan dari kegiatan sosialisasi tentang Hak-hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) pada tanggal 04 Oktober 2019 yang dihadiri oleh Camat Lewa, Pemerintah Desa, tokoh adat, tokoh agama serta masyarakat Desa Persiapan Pindu Wangga Wundut, Kambata Wundut dan Desa-desa tetangga.
Dalam musyawarah yang di inisiasi oleh tokoh-tokoh Masyarakat Adat Wundut tersebut, setengah ber-nostalgia mengenang masa-masa lalu, mereka menjelaskan bahwa saat ini banyak hak-hak komunal mereka yang berada di dalam Kawasan Taman Nasional MATALAWA, antara lain Kampung Leluhur pertama di Ana Ndua, Tempat ritual hamayang di Utang Mata Wongu, Padang penggembalaan di Katoda Ukur, lahan sawah di seputaran Ngeapa Takung, Lai Yadu, Lai Hapu, Lai Panduk dan lahan tanaman holtikultura di Mamohung, tidak lagi bisa dikelola dan dimanfaatkan secara penuh oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA) Wundut. lahan-lahan tersebut, dulunya merupakan lambang kehormatan mereka, tempat/ruang dimana mereka mengusahakan kehidupan, namun sekarang ruang hidup mereka menjadi terbatas karena kebijakan yang mengharuskan mereka untuk meninggalkan hak-hak yang sebetulnya mereka warisi secara turun-temurun.
foto : Musyawarah bersama masyarakat adat parengu wundut |
Musyawarah yang di ikuti oleh 12 (dua belas) perwakilan kabihu dari 17 (tujuh belas) Kabihu yang di Parengu Wundut menyatakan Kesiapannya untuk terlibat aktif dalam kegiatan yang difasilitasi oleh Konsorsium Tana Wai Maringi yang didukung oleh Dedicated Grant Mechanism (DGM) Indonesia melalui Samdhana Institute memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Parengu Wundut. Kegiatan ini membuka kembali harapan masyarakat adat Parengu Wundut untuk kembali mengakses lahan-lahan komunal yang merupakan warisan berharga dari leluhur mereka. Harapan besar tersebut, tentunya bukan isapan jempol belaka, harapan tersebut berkembang karena dewasa ini Pemerintah lebih responsif terhadap berbagai kepentingan masyarakat, termasuk diantaranya adalah kepentingan masyarakat adat, hal ini dapat kita ketahui dari berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang kembali membuka ruang terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat.
Dasar Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, dapat kita lihat pada Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 18 B ayat 2:"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang".
pengakuan tersebut dapat kita temui pada berbagai peraturan perundang-undangan, antara lai:
3. Permen ATR/ Kepala BPN Nomor 10 Tahun
2016 sebagaimana telah diganti dengan Peraturan Mentri/ Kepala BPN Nomor 18
tahun 2019 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu
5. Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup No. P32/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Hutan Hak dan yang terbaru ada Permen LHK No.
21/2019 tentang Hutan Hak dan Hutan Adat, dan aturan-aturan lainnya.
Adanya peluang dalam berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentunya tidak serta akan mengembalikan hak-hak tradsional masyarakat hukum adat. peluang tersebut butuh dukungan dan komitmen kuat dari berbagai stakeholder terkait, baik dari Pemerintah Daerah Kab. Sumba Timur, DPRD, Akademisi, NGO, tokoh masyarakat adat untuk mengembalikan kehormatan Masyarakat Adat di Sumba Timur, termasuk Masyarakat Hukum Adat Wundut.
Salah satu harapan yang ingin di capai oleh konsorsium Tana Wai MAringi adalah untuk mendorong lahirnya kebijakan Pemerintah Daerah dan stakeholder terkait di Kab. Sumba Timur tentang pengakuan dan perlindungan MHA dan hak-hak tradisionalnya, termasuk Hak-hak Masyarakat Hukum Adat di Parengu Wundut. semoga harapan tersebut dapat disambut dengan baik oleh berbagai pihak untuk mengembalikan kehormatan Masyarakat Hukum Adat di kab. Sumba Timur, seperti harapan bapak Lungi Randa seorang Wunang dan juga tokoh masyarakat adat di Parengu Wundut.
Foto : Bapak Lungi Randa |
“Kami sebagai masyarakat adat parengu wundut, siap
terlibat dalam kegiatan ini karna kegiatan seperti inilah yang kami
tunggu-tunggu dari dulu, lahan-lahan adat leluhur kami telah masuk dalam
kawasan taman nasional dan juga ada beberapa tempat hamayang kami sebagai
marapu dalam kawasan tersebut yang tidak lagi bisa kami akses” .