Sehari, Menelusuri Jejak Peradaban Masyarakat Adat, Kambata Wundut-Lewa

yayasan Koppesda

Dalam rangka mendorong pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan hak-hak Tradisionalnya, maka  keberadaan (eksistensi) wilayah adat, merupakan salah syarat penting bagi upaya pengakuan dan perlindungan tersebut. dalam rangka mengumpulkan data sosial dan data  tentang wilayah adat (data spatial), maka Tim Konsursium Tana Wai-Maringi (Yayasan Koppesda dan Perkumpulan Humba Ailulu) selama enam hari, dimulai dari tanggal 26 November hingga tanggal 1 Desember 2019, melakukan kajian untuk mengumpulkan informasi tentang kehidupan sosial budaya dan informasi tentang wilayah adat MHA Kambata Wundut.
Foto: Penulis bersama "Ratu" (Imam) Kabihu Padda Uma Karambo
(Mbadi Wora Njara)
Kegiatan selama dua hari pertama dilakukan di kantor Desa Persiapan Pindu Wangga Wundut, dimana tim konsorsium bersama dengan perwakilan pemerintah Desa Kambata Wundut, perwakilan pemerintah Desa Pindu wangga Wundut, perwakilan tokoh masyarakat, perwakilan tokoh masyarakat dari desa-desa tangga, bersama-sama terlibat dalam kegiatan diskusi terfokus (Focus Group Discusion/FGD), dalam rangka pengumpulan data tentang sejarah keberadaan  masyarakat adat Kambata Wundut, hubungan sosial kemasyarakatan setiap Kabihu, hukum adat, sejarah pengelolaan, pemanfaatan dan pembagian wilayah adat serta keberadaan dan pengelolaan wilayah adat saat ini. Kegiatan tersebut di hadiri juga oleh konsultan metodologi kajian sosial (Umbu Padjaru Lombu) dari UNKRISWINA Sumba dan konsultan pemetaan (Christian David), yang turut memfasilitasi kegiatan FGD. pada hari ketiga hingga hari ke-enam, tim Konsorsium membagi diri menjadi 2 (dua) tim. Tim pertama bertugas untuk memperdalam informasi data sosial dengan melakukan wawancara mendalam dengan para narasumber (Key Informan), sedangkan tim kedua bertugas untuk melakukan pengambilan titik koordinat wilayah adat (pemetaan partisipatif) MHA Kambata Wundut.
Foto: Persiapan Tim Pemetaan Partisipatif,
Sebelum Melakukan Pengambilan Titik Koordinat Batas Wilayah Adat di Kambata Wundut
Tim pemetaan terdiri dari 4 (empat) orang dari anggota konsorsium, 5 (lima) orang tim pemetaan Partisipatif yang telah di latih dan 10 (sepuluh) orang pemandu lokal yang terdiri dari tokoh masyarakat yang memahami batas-batas wilayah adat MHA Kambata Wundut. untuk mempermudah kegiatan pengambilan titik koordinat wilayah adat, tim pemetaan dibagi lagi menjadi 4 tim. Kegiatan pengambilan titik koordinat (batas) wilayah adat di awali dengan pembahasan batas-batas wilayah adat, titik-titik lahan komunal, bekas-bekas perkampungan serta lokasi-lokasi penting untuk melaksanakan upacara keagamanaan (Marapu). Kegiatan selanjutnya adalah persiapan teknis, yaitu penyiapan GPS, peralatan untuk mecatat data (pensil dan form), perbekalan, persiapan mantel, dll. Setelah semua persiapan untuk melaksanakan kegiatan dirasa sudah cukup, mulai-lah  masing-masing tim beranjak ke lokasi tujuan masing-masing.
Penulis sendiri tergabung di tim empat, dengan anggota 1 (satu) orang relawan yang telah dilatih dan 3 (tiga) orang pemandu lokal. Dengan  penuh semangat kami mulai mengayunkan langkah ke lokasi tujuan, yaitu sebuah hutan kecil yang di sebut "Hunda Rangga", yaitu batas wilayah adat yang berbatasan langsung dengan wilayah administratif kabupaten Sumba Tengah.  Setelah mengambil titik koordinat di Hunda Rangga selanjutnya kami  menuju ke sebuah tempat yang bernama “Rowak” di lokasi tersebut terdapat  sumber air yang  yang sangat jernih, tanpa membuang kesempatan kami semua lalu membasuh muka untuk sejenak merasakan kesejukan yang sangat alami.
Foto: Kuburan Umbu Nggiku
(salah satu leluhur Masyarakat Kambata Wundut)
di Laidatu di bawah Parenggu Ana Ndua
Dari Rowak, kami melanjutkan perjalanan dengan melawan terik matahari menuju ke lokasi berikutnya yang “Pare Tawawul” salah satu anggota tim (Mbani Woru Njara) yang dalam kehidupan sosial berkedudukan sebagai “Ratu” (Imam) dari Kabihu Padda Uma Karambo mengisahkan bahwa lokasi ini merupakan tempat persinggahan dan peristrahatan para leluhur MHA kambata Wundut saat berperang dengan pihak lain, dari lokasi tersebut  selanjutnya tim kami menuju sebuah tempat yang nama “Hara Karang  Mbadi Woru Njara mengisahkan bahwa lokasi tersebut di namakan demikian karena ketika para leluhur membakar binatang buruan (babi hutan), ternyata  daging tersebut tak senikmat yang mereka inginkan karena hangus. Setelah mengambil titik di lokasi tersebut, kami menuju ke sebuah bekas rumah kebun atau di sebut “Kotak Lai Mbuhangoleh masyarakat setempat, perjalanan selanjutnya kami dipandu untuk melakukan pengambilan titik koordinat “Palendu Padua  lalu ke La Pau”, kedua lokasi ini  dimanfaatkan oleh MHA Kambata Wundut sebagai lokasi pengembalaan ternak besar hingga sekarang.  
Tanpa kami sadari matahari mulai menghilang dan waktu telah menunjukkan pukul enam sore, lokasi terakhir yang kami tuju adalah adalah sebuah tempat yang mempunyai nilai sangat penting bagi semua MHA di kambata Wundut, yaitu sebuah lokasi yang disebut sebagai “Mata Wongu”. lokasi ini merupankan tempat upacara keagamaan penting bagi sebagian MHA Kambata Wundut yang menganut agama lokal (Marapu).
Mbani Woru Njara, mengisahkan bahwa upacara keagamaan (Marapu) yang dilaksanakan di tempat tersebut dimaksudkan  untuk memohon berkat kepada Sang Pencipta dalam segenap aspek kehidupan berupa hasil pertanian, peternakan, akal budi, kesehatan, serta keberlangsungan keturunan (laki-laki dan perempuan). lokasi ini sangat di-keramatkan oleh masyarakat Kambata Wundut, dimana tidak semua masyarakat diperbolehkan untuk mengikuti upacara keagamaan tersebut, hanya mereka yang menyelesaikan adat perkawinan, adat kematian yang boleh datang untuk mengikuti upacara keagamaan di lokasi tersebut. Mbadi Woru Njara mengatakan bahwa upacara untuk memohon berkat dilakukan dengan cara menggosok minyak kelapa di Andungu Wolu Kondai-Andungu Wolu Ndima, lalu dilanjutkan dengan pemberian sirih pinang  berturut-turut oleh Kabihu Padda Uma Karambo, lalu Kabihu Padda Uma Ma Aya terakhir oleh  Kabihu Padda Uma Ratu.
Foto: Bersama tim Pemetan di lokasi upacara ke-agamaan (Marapu) masyarakat adat Kambata Wundut di Mata Wongu
Tugas kami selama sehari kami telah kami selesaikan, tepat pukul sembilan malam, kami tiba kembali di rumah penginapan tim. walaupun tubuh merasakan kelelahan setelah sehari penuh berjalan menelusuri jejak peradaban Masyarakat Adat Kambata Wundut, namun rasa lelah itu terbayar lunas dengan berjalan-nya kegiatan pengambilan titik-titik koordinat, batas wilayah adat MHA Kambata Wundut.
Selama sehari menelusuri jejak peradaban masyarakat adat Kambata Wundut, Mbadi Woru Njara, selaku tokoh Masyarakat Adat di Kambata Wundut menyampaikan bahwa, karena perkembangan jaman, luas wilayah adat mereka tidak lagi seperti dahulu, banyak wilayah adat yang telah dibagikan kepada kabihu (klan) lain yang datang belakangan di Kambata Wundut, banyak juga tempat penting (lokasi perkampungan, lokasi upacara keagamaan, lokasi kebun) yang saat ini tidak lagi mereka bisa manfaatkan secara leluasa, karena masuk menjadi bagian dari Kawasan Taman Nasional MATALAWA. salah satu hambatan yang mereka rasakan adalah mereka tidak bisa bebas untuk memasuki olasi tempat upacara keagamaan di Mata Wongu, dimana setiap hendak melaksanakan upacara keagamaan, masyarakat harus mengajukan permohonan kepada pihak Balai Taman Nasional MATALAWA. dia berharap apa yang telah diwariskan oleh para leluhur-nya, dapat diakses dan dimanfaatkan lagi oleh MHA Kambata Wundut, sebuah harapan yang tentunya membutuhkan perjuangan yang panjang, tugas hari ini hanyalah sebagian kecil dari bagian perjuangan yang akan ditempuh...

Waingapu, 2 Desember 2019.
Tags