Pengelolaan Ekosistem (Lanscape Tanggedu-Mondu) Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Adat, Wakili Sumba Timur, pada Pesta Raya FLOBAMORATAS 2023 di Kupang

yayasan Koppesda

 

Perwakilan Koalisi ADAPTASI dari Kabupaten Sumba Timur Peserta Festival PRF Kupang 2023 bersama Koordinator Nasional Koalisi ADAPTASI, Sardi Winata (tengah, berkacamata), Jumat (03/11/2023), Waterpark, Oebufu, Kota Kupang.

Pesta Raya FLOBAMORATAS (PRF) Tahun 2023 kembali digelar di Kupang, pada 3 – 4 November 2023, bertempat di Kupang Waterpark, Kelurahan Oebufu, Kecamatan Oebobo, Kupang. Pesan kunci PRF tahun ini adalah “Semangat Flobamoratas tanpa batas dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim”. Festival yang diinisiasi oleh aliansi Voices for Just Climate Action (VCA) sebagai salah satu upaya meng-amplifikasi suara masyarakat sipil untuk memperluas diskursus aksi iklim solutif di tingkat lokal dan nasional. FLOBAMORATAS merupakan akronim dari Flores, Sumba, Timor, Alor, Rote, Lembata, dan Sabu yang merupakan nama-nama pulau di Nusa Tenggara Timur. Peserta dan pengisi acara di festival ini berasal dari seluruh wilayah NTT. Festival ini direncanakan akan diselenggarakan setiap tahun supaya narasi dan kampanye aksi iklim selalu bergaung dari NTT untuk Indonesia bahkan global.

Arti Indallah Tjakranegara, VCA Country Engagement Manager Yayasan Hivos, dalam sambutannya menyampaikan, bahwa: “PRF bertujuan untuk menjadi sarana penyampaian pesan solusi dan aksi iklim berbasis lokal secara positif, berupa cerita praktik cerdas yang disajikan dalam beragam karya budaya melibatkan berbagai elemen masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat adat dan anak muda”. Sejak tahun 2021, Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos) Indonesia membangun aliansi Voices for Just Climate Action (VCA) yang fokus pada pembelajaran bersama dan dialog kebijakan. Harapannya, pembelajaran, dialog, dan cerita dapat terdokumentasi, diadopsi, atau direplikasi di berbagai wilayah di Indonesia.
Hadir dalam acara ini adalah Perwakilan Koalisi KOPI, Koalisi SIPIL dan Koalisi Pangan Baik dan Koalisi Adaptasi.

Sardi Winata selaku Koordinator Nasional Koalisi Adaptasi (Koalisi Pembawa Angin dari Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Timur Indonesia) yang terdiri dari Yayasan Penabulu sebagai lead, Perkumpulan YAPEKA, KPI, CTSS IPB, Konsil LSM, Perkumpulan Desa Lestari, Perkumpulan Sinergantara, Yayasan KOPPESDA, Yayasan BARAKAT, yang bekerja di Kabupaten Lembata, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Rote mengatakan bahwa tahun lalu Koalisi Adaptasi mengangkat tema tentang Kearifan lokal “Muro” dari Kabupaten Lembata, tahun ini Koalisi Adaptasi mengangkat tema utama tentang  pengelolaan ekosistem (Lanscape Tanggedu-Mondu) berbasis kearifan lokal Masyarakat Adat dari Kabupaten Sumba Timur dan tahun depan akan mengangkat tema tentang kearifan local “Haholok-Papadak” dari Kabupaten Rote-Ndao.
Menurut Triawan Umbu Uli Mehakati selaku perwakilan dari Yayasan KOPPESDA, untuk memudahkan pengunjung PRF memahami tema yang diangkat oleh Koalisi Adaptasi, maka konsep tersebut dituangkan dalam maket yang menggambarkan Tanggedu – Mondu sebagai satu bentang alam yang saling terhubung sebagai suatu sistem utuh yang menopang kehidupan masyarakat adat Mondu, Tanggedu dan sekitarnya, yang secara ringkas dapat digambarkan sesebagai berikut:

  1. Daerah Hulu Tanggedu dengan Air Terjun Kakaruk Loku-nya menjadi sumber air bagi pertanian dan bagi ternak di padang sabana dan saat ini masyarakat Tanggedu melalui POKDARWIS Kakaruk Loku, telah menata dan mengelola air Terjun Tanggedu sebagai lokasi wisata yang dikelola dengan konsep Community Based Tourism (CBT).
  2. Hutan Adat Lahimbi sebagai yang dijaga oleh masyarakat adat untuk menyediakan stok pangan (tanaman ubi gadung) bagi masyarakat Mondu, Tanggedu dan sekitarnya yang hanya bisa dimanfaatkan pada musim paceklik dengan ketentuan, pertama, Pengambilan ubi gadung harus didahului dengan upacara adat; kedua, pengambilan ubi gadung hanya dibolehkan selama 3 (tiga) hari; ketiga, pada hari yang ke-empat, masyarakat wajib menanam kembali umbi kecil dari umbi gadung; keempat, Pengambilan ubi gadung setelah hari ke-empat (pasca waktu yang ditentukan secara adat) merupakan pelanggaran.
  3. Padang Savana sebagai lokasi pengembalaan ternak besar (kerbau.kuda sapi) dan ternak kecil (kambing) yang memiliki nilai penting, sebagai sumber alternative mata pencaharian, sebagai bahan dalam pelaksanaan adat-istiadat termasuk menjadi sumber protein hewani masyarakat.
  4. Lahan pertanian di pinggir DAS Mondu, sebagai sumber pangan masyarakat dan dalam budaya masyarakat sumba di lokasi inilah terdapat  Rumah Kebun (Uma Woka), Rumah Kebun dibedakan dengan Rumah di Kampung (Uma La Parengu) sebagai pusat aktivitas kehidupan masyarakat adat Sumba.  
  5. Pantai Kapihak, tempat bermuara Sungai Mondu merupakan lokasi nelayan tradisional mencari ikan, kerang dan kepiting, sebagai sumber alternatif pendapatan dan pemenuhan kebutuhan gizi keluarga.

Pada PRF kali ini Koalisi Adaptasi, Menghadirkan Kristian H. Wali, perwakilan pemuda adat dari Kambata Wundut-Lewa, Aryani Newa Humba, Perwakilan Perempuan Adat dari Desa Mondu dan Umbu Tay Pangga Praing selaku tokoh Masyarakat Adat Tanggedu yang menjadi narasumber utama tentang praktik kearifan lokal masyarakat adat dalam mengelola dan memafaatkan Sumber Daya Alam pada bentang alam Tanggedu-Mondu. Umbu Tay Pangga Praing atau yang biasa disapa Umbu Bakul secara tegas mengatakan bahwa Kami masyarakat adat Mondu dan Tanggedu mempunyai cara menjaga dan memanfaatkan kekayaan alam yang kami miliki. Cara itu sudah dilakukan secara turun temurun, dari jaman nenek moyang kami, Di hutan, di kali (sungai), air terjun, mata air, padang penggembalaan, kebun, sawah, mondu (lahan di daerah aliran sungai) dan pesisir pantai semua punya tata cara pemanfaatan yang diatur lewat aturan adat, karena kami beranggapan bahwa manusia dengan alam harus hidup harmonis.

Umbu Tay Pangga Praing (kedua dari kiri) Tokoh Adat Tanggedu menjelaskan tata cara pengelolaan ekosistem (Tanggedu-Mondu) berbasis kearifan lokal Masyarakat Adat  kepada pengunjung booth Koalisi ADAPTASI pada Festival PRF di Waterpark Kupang, Oebufu, Kota Kupang, Jumat (03/11/2023).

Lebih lanjut Triawan menyatakan bahwa Krisis iklim kian nyata, suhu udara cenderung meningkat, bahaya iklim seperti kemarau berkepanjangan dan musim hujan yang tidak lagi bisa diprediksi mengancam masyarakat yang bergantung pada iklim, termasuk masyarakat adat dan kaum marjinal lainnya dan sudah saatnya paradigma pembangunan tidak lagi berfokus pada ekonomi semata, perspektif kelestarian lingkungan hidup dan masyarakat adat  dengan kearifan lokalnya yang mengutamakan keharmonisan dengan alam perlu menjadi perhatian semua pihak.
YK:6-11-2023



Tags