Tiga Hari, Dua Malam di Alam Bebas (Dalam Rangka Kajian Sosial dan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat, Parengu Tanggedu)

yayasan Koppesda
Oleh 
Robert Enrico Kitu

Pengakuan dan perlindungan MHA dan Hak-hak tradisionalnya dijamin di dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia Pasal Pasal 18 B (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Gambar 1.
Kondisi Wilayah Masyarakat Adat Tanggedu dengan Topografi Berbukit-bukit
Dalam Permedagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum adat, diatur syarat-syarat pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat, yaitu Tersedianya data dan informasi tentang sejarah Masyarakat Adat, wilayah Adat, hukum Adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
Dimana jika tersedia data dan informasi diatas, maka masyarakat Hukum adat dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah untuk mendapat pengakuan dan perlindungan sebagai subyek hukum, berdasarkan permohonan tersebut, maka Pemerintah Daerah membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota, yang ditetapkan  berdasarkan Surat Keputusan Bupati/Walikota.
Tahapan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat Sendiri, mencakup 3 tahapan (Pasal 4 Permendagri No.52 Tahun 2014), yaitu: a. identifikasi Masyarakat Hukum Adat; b. verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan c. penetapan Masyarakat Hukum Adat.Jika dalam tahapan Identifikasi, Verifikasi dan Validasi Masyarakat Hukum Adat, jika semua syarat-syarat keberadan masyarakat Hukum Adat terpenuhi, maka Bupati/walikota berkewajiban melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah (Pasal 6 Ayat 2 Permendagri No.52 Tahun 2014)
Berdasarkan regulasi diatas,  dapat kita ketahui bahwa  Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya secara de jure diakui keberadaannya, namun persoalannya adalah Masyarakat Adat diwajibkan untuk membuktikan keberadaanya, sedangkan masyarakat adat sendiri belum sepenuhnya memahami hak-hak konstitusionalnya untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan dari Pemerintah.
Gambar 2.
 Suasana Wawancara dengan Masyarakat Adat Tanggedu
Berdasarkan pertimbangan diatas, maka Konsorsium Tana Wai Maringi (Yayasan Koppesda dan Perkumpulan Humba Ailulu) yang di dukung Oleh Dedicated Grant Mecanism (DGM- Indonesia) memfasilitasi masyarakat adat Tanggedu, Kecamatan Kanatang, Kabupaten Sumba Timur untuk melaksanakan kegiatan kajian sosial tentang keberadaan masyarakat Adat di Tanggedu, serta memfasilitasi kegiatan pemetaan partisipatif wilayah adat. Kegiatan tersebut dilakukan selama Tujuh hari  sejak tanggal 14 Februari 2020 hingga 20 Februari 2020 dikuti oleh perwakilan semua perwakilan dari 12 Kabihu (dalam konsep ilmu sosial kata "Kabihu"  sinonim dengan kata “Klan", yaitu sekumpulan orang yang berasal dari garis keturunan yang sama”) yang terkait dalam Parengu/Praing Tanggedu (Parengu/Praingu merupakan perkampungan yang di diami oleh beberapa Kabihu), perwakilan masyarakat adat Mondu serta perwakian pemerintah desa dan BPD Desa Hambapraing (diwakili oleh ibu penjabat kepala desa dan Ketua BPD), Perwakilan ke duabelas kabihu yang hadir pada saat kegiatan Kajian Sosial dan Pemetaan ini yaitu: Kabihu Karungguwatu, Kombul, Ngeur, Karending, Dappi, Pahoka, Ambaleling, Manolang, Palamedu, Anamakawonda,  Anamaeri dan Kabihu Mamundi. Pada kesempatan tersebut hadir pula Ibu Deby R. Kasuatu selaku perwakilan dari National Steering Committee (NSC DGM-I), beliau menegaskan bahwa Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan telah mempunyai komitmen untuk mendukung pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat Adat dan dukungan DGM-Indonesia merupakan salah satu langkah penting untuk mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat terhadap hak-haknya, baik hak komunal kabihu, padang pengembalaan, hutan adat dan hak-hak tradisional lainnya.
Pada hari pertama dan hari kedua kegiatan yang dilakukan adalah kajian sosial. Teknik kajian yang dilakukan adalah dengan cara Focus Group Discussion(FGD) yaitu dengan melakukan wawancara pada masing-masing kabihu untuk memperoleh informasi yang mendalam dan akurat tentang asal muasal/sejarah tiap-tiap kabihu, wilayah adat, hukum adat, sistem pemerintahan adat, serta harta kekayaan masyarakat adat Tanggedu.kegiatan ini dipandu oleh Konsultan Kajian Sosial (Pak Padjaru Lombu, SH, MH) yang berasal dari UNKRISWINA Sumba. Selanjutnya pada hari ketiga hingga hari ke Tujuh dilakukan kegiatan Pemetaan partisipatif wilayah Adat (PPWA) yang berlangsung selama lima hari. Untuk mempermudah kegiatan pemetaan maka tim pemetaan dibagi menjadi 4 tim dan masing-masing tim beranggotakan empat orang yang terdiri dari tim internal konsorsium, tim Pemetaan partisipatif wilayah adat (tim PPWA) dari unsur masyarakat adat yang telah dilatih sebanyak 5 orang, tim pemandu lokal, yaitu masyarakat adat yang mengetahui batas-batas wilayah adat, lokasi-lokasi lahan komunal, bekas perkampungan, dll, serta konsultan pemetaan.

Gambar 3. 
Pengambilan titik koordinat, bekas Kampung 
Saya sendiri, bersama konsultan pemetaan (Pak Cristian David), satu orang pemandu lokal (Bapak Petrus Milla) dan satu orang tim PPWA (Deni Menggit) dari masyarakat adat tergabung dalam Tim 1 yaitu tim. Tim 1 bertugas mengambil titik-titik koordinat disebelah barat Desa Persiapan Tanggedu yang berbatasan dengan desa tetangga yaitu Desa Tandulajangga, Desa Ndapayami, dan Desa Kalamba.
Untuk kegiatan pemetaan ini dilakukan lewat dua proses, yaitu pengambilan titik dalam dan pengabilan titik luar. yaitu meliputi pengambilan titik koordinat pada Praing/kampung, Reti/kuburan-kuburan lama, Katoda/tempat sembahyang, pahomba dan potensi-potensi SDA yaitu Hutan Adat, Sawah, Kebun, Air terjun, kandang ternak, Pembangkit listrik mikro hydro yang mensuplay listrik untuk beberapa rumah tangga di Dusun II Menggit. 
Gambar 4.
Melepas Lelah Sejenak, di Tengah Terik Matahari
Untuk pengambilan batas titik luar tim kami melakukan pemetaan selama tiga hari dari prediksi kami yang sebelumnya hanya dua hari, hal ini disebabkan oleh karena medan yang cukup berat dan terhalang banjir sehingga kami tidak bisa tiba di base camp sehingga tim terpaksa bermalam di hutan selama tiga hari, dua malam dengan kondisi panas, hujan, banjir dan persediaan perbekalan yang terbatas. Pada Hari pertama tim memulai kegiatan pemetaan lingkar luar dimulai sejak jam 08.00 setelah sarapan pagi pada salah satu tokoh adat Bapak Petrus Milla (pemandu lokal). Untuk perbekalan kami membawa bekal seadanya yaitu ketupat, kacang goreng hasil pemberian salah satu masyarakat sekitar dan ayam satu ekor. Kami menyusuri sungai, hutan dan perbukitan dengan kemiringan 20°-80°, pada hari pertama kami mendapatkan beberapa titik pada lokasi Kampung lama, Katoda dan juga kuburan lama. Setelah sore hari kami mencari tempat untuk bermalam, lokasinya berada didalam hutan dipinggir sungai yang mengarah ke air terjun tanggedu, karena tidak membawa tenda dan alas tidur maka kami menggunakan daun-daun pohon sebagai alas tidur tanpa menggunakan tenda sebagai atap, setelah itu kami membuat perapian untuk menghangatkan badan dan juga mengeringkan pakaian kami yang basah akibat hujan siang harinya serta makan malam dengan ketupat dan memanggang ayam yang kami bawah untuk lauk malam.

Gambar 5. Terhadang Banjir
Pada hari kedua tepat jam 07.00 kami memulai pemetaan lagi dengan tujuan kampung lama, pahomba dan tempat ritual beberapa kabihu di Tanggedu untuk meminta hujan. siang harinya kami beristirahat untuk makan pagi sekalian makan siang pukul 11.00 dengan ketupat dan ayam panggang yang kami pisahkan dari semalam. Setelah itu kami melanjutkan perjalan, pukul tiga sore kami tiba di sebuah padang terbuka, yang merupakan tempat ritual meminta hujan oleh beberapa kabihu di Tanggedu dan saat kami tiba ditempat ini bersamaan dengan turunnya hujan yang sangat lebat, terpaksa kami harus bertahan di lokasi tersebut dengan memakai mantel untuk sekedar bertahan dari hujan lebat. Setelah hujan mereda sekitar pukul empat sore kami melanjutkan perjalanan dengan tujuan untuk kembali ke base camp, dengan melewati tebing yang terjal tepat pukul lima sore kami tiba di pinggir sungai tanggedu, Sayangnya sungai yang hendak kami lewati sedang banjir akibat hujan lebat sejam yang lalu, sehingga mau tidak mau kami harus bermalam lagi di pinggir sungai. Kami tidur diatas batu yang agak tinggi dari pinggiran sungai karena takut jika datang banjir yang lebih besar lagi. Malam harinya kami tidak bisa beristirahat dengan baik karena kehujanan tiga kali, yaitu jam 19.00, 22.00 dan jam 02.00 malam, sedangkan kami tidak membawa tenda untuk bernaung. dalaam kondisi pakaiaan basah, dengan beralasakan daun seadanya, karena kelelahan akhirnya jam 03.00 pagi kami tertidur juga, setelah hujan mereda. 
Gambar 6.
Bermalam di Hutan 
Setelah terbangun pagi harinya, tepat pukul 07.00 pagi kami menyeberang sungai serta mendaki tebing yang terjal lagi untuk sampai diatas bukit dan melanjutkan perjalanan kerumah Bapak Petrus Milla (pemandu lokal) dengan berjalan kaki sekitar dua jam. Bahagia sekali bisa tiba dengan kondisi yang masih sehat dan kembali menikmati secangkir kopi panas, dilanjutkan dengan menikmati mie kuah  panas.  Rasa letih dan lapar karena malam sebelumnya kami tidak makan sebab persedian bekal habis,  sekejap hilang lenyap. 
Setelah kami beristirahat sorenya harinya kami kembali ke base camp dengan berjalan kaki sejauh 15 kilometer dan pukul 19.00 malam, kami bertemu kembali dengan tim lain yang juga baru menyelasaikan tugas mereka.
Dari perjalanan pemetaan selama lima hari ini ada beberapa poin yang dapat saya lihat, antara lain:
  • Masyarakat dalam kesehariannya masih hidup dalam ikatan kekeluargaan yang erat yang harmonis, hubungan antar kabihu masih terbina dengan baik, hal ini dapat saya lihat dalam hidup keseharian mereka untuk bergotong royong dalam mengerjakan sawah.
  • Masyarakat masih menjaga lingkungannya dengan baik dalam hal bercocok tanam, mereka belum mengenal penggunaan pupuk, baik pupuk organik maupun pupuk kimia karena sawah yang diolah masyarakat masih sangat subur. Karena sawah-sawah milik masyarakat berada di lembah-lembah segingga humus yang turun dari bukit-bukit ketika terbawa oleh air hujan menjadi pupuk alami yang baik bagi sawah.
  • Potensi Sumber Daya Alam yang sangat melimpah, dalam setahun masyarakat bisa dua menanam dua macam komoditi, yaitu padi dan kacang tanah. Setelah memanen padi, sebulan kemudian masyarakat menanam kacang tanah. Hasil dari padi sangat cukup untuk kebutuhan satu tahun bagi keluarga, sedangkan tanaman kacang dijual untuk menambah ekonomi keluarga, berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu masyarakat. diketaahui bahwa ia pernah menjual kacang tanah sampai 100 karung lebih dan uang yang didapat sampai seratus juta lebih dengan asumsi 1 karung 1 juta.
  • Potensi air yang ada di Dusun Menggit sangat cukup dan mampu mengairi semua kebun dan sawah milik masyarakat,  dengan luasa kira-kira 64 Ha. Potensi air juga dimanfaatkan sebagai sumber listrik (Mikro Hidro) bagi beberapa rumah tangga. 
  • Dibeberapa kampung lama/bekas kampung dari beberapa kabihu yang lokasinya jauh dari pemukiman masyarakat, kondisinya cukup memprihatinkan, karena banyak makam/kuburan megalitik tua yang telah dijarah oleh pencuri untuk mencari harta berupa emas, perak,  muti dan barang berharga lainnya. 
Demikian pengalaman kami selama tujuh hari di bersama Masyarakat adat Tanggedu, pengalaman yang paling berkesan adalah ketika kami harus bertahan di alam terbuka selama tiga hari, dua malam dengan kondisi panas, hujan, banjir, perbekalan yang terbatas, serta dengan dukungan peralatan minim, namun demikian saya sangat bersyukur bisa terlibat dan melewati proses ini, sampai kami bisa menyelesaikan proses pemetaan dengan baik.

*Penulis adalah Relawan dari Internal Yayasan Koppesda, yang membantu pelaksanaan kegiatan Di Tanggedu.
Wgp, 03/03/2020

Tags