KDLH WALHI ED NTT 2023: Ajang Refleksi Ekologis Pemangku Kepentingan di Sumba Timur

yayasan Koppesda

 

Peserta KDLH WALHI ED NTT, Waingapu, Sumba Timur, Minggu (29/10/2023).

Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai provinsi kepulauan saat ini menghadapi berbagai tantangan berkaitan dengan keberlanjutan kehidupan manusia dan kelestarian ekosistemnya. Secara geografis, sebagai provinsi kepulauan yang memiliki mayoritas pulau kecil 1.190 pulau kecil dengan garis pantai sekitar 5.700 Km dan luas laut 15.141.733 Ha sangat rentan terhadap perubahan iklim.

Pulau Sumba, merupakan salah satu Pulau di Provinsi NTT yang saat ini sedang menghadapi dampak buruk dari perubahan iklim. Dampak dari ancaman kenaikan suhu bumi sudah dirasakan. Dengan meningkatnya suhu udara ini menyebabkan gelombang panas dan tekanan panas, sehingga berdampak pada kesehatan penghuni dan membuat pekerjaan di luar ruangan menjadi lebih menantang. Hal ini juga dapat mengganggu ekosistem dan praktik pertanian. Kenaikan suhu udara memperparah kekeringan, mempercepat pematangan buah, yang kemudian menurunkan kualitas hasil panen dan benih tanaman. Berdasarkan data BMKG Kabupaten Sumba Timur, Tren kenaikan suhu di Kabupaten Sumba Timur adalah sebesar 0,029 °C/tahun sepanjang 1991 – 2020.

Perubahan iklim juga menyebabkan badai tropis lebih intens terjadi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Posko Relawan Seroja Solidaritas Masyarakat Sipil Sumba Timur  (SMS-ST),  dampak Siklon tropis di Kabupaten Sumba Timur adalah curah hujan dengan intensitas tinggi dari tanggal 3 April, hingga tanggal 6 Mei, mengakibatkan bencana banjir di sejumlah wilayah yang menimbulkan kerugian material, antara lain rumah hanyut, lahan terkikis/terbawa banjir, kerusakan Tanaman Pangan, Tanaman Hortikultura, Tanaman Umur Panjang, Tanaman Perkebunan Masyarakat di sepanjang DAS, serta terjadinya bencana angin kencang (badai) pada tanggal 6 April 2021 yang berakibat pada rusaknya (roboh) rumah warga serta fasilitas umum.

Kekeringan yang berkepanjangan dan berkurangnya ketersediaan air dapat berdampak pada pertanian, pasokan air bagi masyarakat, dan bahkan menyebabkan konflik atas sumber daya air. Kekeringan menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas pakan ternak yang berujung pada meruginya usaha peternakan.

Kondisi rawan perubahan iklim ini semakin diperparah dengan kebijakan pembangunan NTT yang mengesampingkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. NTT saat ini digempur oleh masifnya proyek-proyek berbasis industri skala besar. Pertambangan, pariwisata berbasis industri, perkebunan monokultur dan proyek infrastruktur skala besar. Semua jenis proyek ini berdampak langsung pada kerusakan ekosistem dan konflik agraria.

Tidak sedikit tanah masyarakat adat dirampas oleh investor dan pemerintah demi pembangunan skala besar tersebut. Padang penggembalaan ditetapkan sebagai lahan tidur, meski di situ terdapat jejak ternak yang digembalakan. Nelayan tradisional harus menempuh jarak yang lebih jauh karena harus memutari pagar tinggi demi akses ke pantai.

Menyikapi kondisi di atas, Eksekutif Daerah WALHI NTT dan seluruh komponen WALHI NTT berkomitmen untuk melawan semua bentuk pembangunan yang bersifat eksploitatif. Berangkat dengan mandat WALHI NTT “Bersolidaritas Melawan Dehumanisasi Menuju Keadilan Ekologis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di NTT”, seluruh arah advokasi WALHI difokuskan untuk melawan semua model dehumanisasi di NTT. Bentuk perlawanan itu kemudian dikemas menjadi ragam acara dalam kegiatan Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH)  Wahana Lingkungan Hidup Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI ED NTT) 2023).

Rangkaian kegiatan KDLH 2023 di Kabupaten Sumba Timur, 25 – 29 Oktober 2023, antara lain: Penanaman Mangrove, Diskusi: Wilayah Kelola Rakyat (WKR) Solusi Keadilan Iklim dan Diskusi Publik: Tata Kelola SDA Berkelanjutan dan Berkeadilan Antar Generasi Dalam Kesatuan Ekologi Pulau Sumba. Kegiatan tersebut melibatkan Pemerintah Kabupaten, Perwakilan Masyarakat, Akademisi, Mahasiswa, Tokoh Agama dan Perwakilan LSM Lokal.

Peserta Online KDLH WALHI NTT 2023

KDLH 2023 ini dilakukan dengan metode hibrid, dengan melibatkan 19 lembaga anggota dari 27 lembaga anggota WALHHI NTT. Dari 19 lembaga anggota, 9 lembaga hadir secara langsung/ offline, yaitu:             Yayasan Wahana Komunikasi Wanita (YWKW) Sumba Tengah, Yayasan Satu Visi, Yayasan PIKUL,  Perhimpunan Bantuan Hukum Nusa Tenggara (PBH NUSRA), Yayasan Tana Ile Boleng, Lembaga BARAKAT, Yayasan Kuanmnasi, Yayasan Konsultasi Bantuan Hukum Justitia (YKBH Justitia) dan Yayasan Koordinasi Pengkajian & Pengelolaan Sumber Daya Alam (KOPPESDA).

Sedang 10 lembaga mengikuti KDLH secara online, yaitu: YPPS, Lembaga Advokasi dan Pengembangan Masyarakat Sipil (LAPMAS BAJAWA), Tara Gahar Tajo Mosa, Perisai Ngada, Yayasan Pengembangan dan Pendidikan Rakyat, Lakmas Cendana Wangi, Wahana Tani Mandiri, Yayasan Ayu Tani, Piar NTT dan Yayasan Timor Membangun.

Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, dalam pernyataan menyampaikan, bahwa :” Secara internal WALHI NTT memiliki mekanisme internal Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) yang dilakukan setiap tahun untuk kembali mengevaluasi seluruh kerja-kerja WALHI NTT dalam memperjuangkan keadilan ekologis di NTT.” “KDLH merupakan forum resmi WALHI yang diselenggarakan setiap tahun sebagaimana diamanatkan dalam statuta WALHI’, tambah Umbu Wulang.

“Persoalan lingkungan di NTT akan berubah fokus isunya seiring dengan berbagai kebijakan Pemerintah Indonesia yang lebih menitik beratkan pada pembangunan skala besar dengan pendekatan industrialisasi oleh korporasi. Hal ini menuntut respon organisasi untuk menyusun strategi pengawalan lingkungan sehingga KDLH ini juga perlu membahas prioritas pengawalan isu lingkungan di NTT sampai pada tahap capaian. Rekomendasi ini kemudian akan dimuat dalam program kerja Eksekutif WALHI NTT tahun 2024,” tegas Ketua Dewan Daerah WALHI NTT, Torry Kuswardono.

Yayasan Koordinasi Pengkajian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (KOPPESDA), sebagai salah satu lembaga anggota WALHI NTT, berharap lewat kegiatan-kegiatan ini terjadi refleksi pada diri semua pihak yang terlibat, yang kemudian lahir kesadaran kolektif demi terwujudnya keadilan iklim dan keadilan ekologi di Pulau Sumba.

Tags